Sabtu, 11 Mei 2019

End Game: Posibilitas Perjalanan Waktu



Apakah waktu itu ril di ruang eksternal, atau hanya konstruksi mental?

Menjawab pertanyaan ini penting karena kalau waktu hanya konstruksi mental, mustahil melakukan perjalanan waktu karena yang melakukan perjalanan adalah jasad yang ada di ruang eksternal.



Immanuel Kant dengan tegas menunjukkan waktu hanya konstruksi mental yang ternasuk bagian dari dua belas kategori. Filsafat Aristetoles mau atau tidak, juga harus menerima bahwa waktu adalah konstruksi mental karena ia adalah bagian dari aksiden. Sepuluh kategori adalah ranah mental. Dan waktu adalah bagian darinya.

Dalam filsafat mulla sadra, waktu tidak dapat dikatakan tidak ril di realitas eksternal karena dia mengakui kemajemukan di realitas eksternal. Karena kemajemukan itu nyata dari satu realitas yang gradasinya nyata, maka bagian perangkat gradasi haruslah nyata yakni waktu. Jadi, dalam filsafat Mulla Sadra itu, perjalanan waktu itu memungkinkan?

Posibilitas perjalanan dalam waktu atau time travel dapat dijelaskan melalui teori mekanika kuantum. Dalam teori itu, rotasi elektron memungkinkannya menempuh ruang acak sehingga berkonsekuensi pada waktu yang acak. Dengan tidak solidnya durasi, maka bila ada kecepatan yang mampu mengimbangi kecepatan rotasi elektron, maka perjalanan waktu dapat dilakukan.

Saya melihat, tidak konstannya elekton adalah karena persepsi atas ekstensi tidak pernah bisa sesuai dengan yang mampu ditangkap dan dipersepsi dalam ranah mental. Misalnya, sebuah gelas di hadapan kita, bukanlah sebagaimana yang kita persepsikan. Mafhum atas gelas hanyalah konstruksi mental dari realitas gelas yang dia sebagaimana dirinya (bima huwa huwa, being qua being). Sebab itulah para filosof seperti Ibn Sina mengakui mafhum realitas hanyalah justifikasi kesamaan dengan realitas, bukan kesamaan dengan realitas itu sendiri. Jadi rotasi elektron itu sebenarnya mungkin adalah konstan. Sehingga bila ini benar, maka konsep posibilitas perjalanan waktu tertolak.

Selanjutnya, dalam End Game, aksioma yang dibangun adalah melalui kayakinan Ant Man tidak terkena kemusnahan seleksi acak jentik jari Thanos karena dia terjebak ke dalam masa tertentu. Ini tidak pasti, karena bisa saja Ant Man memang tidak masuk seleksi musnah sebagaimana banyak lainnya seperti Hulk, Rogers, Black Widow dan lainnya. Dilema Ant Man dibangun dalam  End Game sebenarnya hanya untuk membuka  inspirasi posibilitas perjalanan waktu.

"Kita mustahil melintasi satu sungai yang sama", kata Herakleitos. Karena bila pernyataan Herakleitos galat, maka Thor dapat kembali ke sembarang waktu untuk mengambil palu ajaib itu. Sehingga dia dapat mengumpulkan banyak palu. Bisa satu kontainer banyaknya.

Masalah lainnya adalah, asumsi perjalanan waktu tidak menyertakan aksiden lainnya. Ini galat, karena aksiden bersama delapan aksiden lainnya melekat pada satu substansi. Maka bila melakukan perjalanan waktu, tentu delapan aksiden lainnya ikut serta, dan substansi juga harus bersamanya, sementara substansi dikenakan hukum nonkontradiksi. Maka Rodgers mustahil bertemu Rodgers. Bahkan ini belum lagi membicarakan hukum daur atau tasalsul yang membuat perjalanan waktu itu mustahil.

Dan sebenarnya, End Game tidak berusaha menyesuaikan diri dengan kondisi waktu yang kita alami. Mereka mencoba membuat proposisi sendiri tentang waktu meskipun pijakannya adalah mekanika kuantum.

Paradigma dan asumsi End Game adalah Infinity Stone. Di antara batu itu ada batu waktu, batu realitas, batu kekuatan, batu jiwa dan sebagainya. Singkatnya, semua waktu itu bila digabungkan dapat menghasilkan sebuah realitas tersendiri yang berbeda dengan realitas normal ini.

Makanya, untuk mengembalikan realitas normal yang direnggut realitas infinity stone, para Avengers harus bertujuan pada masa batu itu dapat ditemukan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar