Senin, 06 Mei 2019

Beda Profesor IAIN dengan Santri Dayah


Seorang guru besar di IAIN diakui memiliki penguasaan terhadap kitab-kitab yang dipelajari santri dayah. Bahkan sang profesor menghafal narasi dan halaman dari satu kitab kuning. Tetapi bila dia tidak mengikuti sistematika pendidikan di dayah, maka tetap saja dia belum menempuh sebuah sistem pendidikan Islam ideal. Karena bila keahliannya hanya menguasai teks, konsep dalam sebuah literatur, maka para orientalis dapat melalukannya dengan lebih baik.
Sebab itulah, setiap dilakukan debat antara santri dayah dengan Muslim modernis, orang dayah sering kalah. Karena mereka diajarkan ilmu bukan semata untuk pengetahuan, konsepsi dan hafal referensi untuk sitasi, tetapi mereka belajar untuk amal, untuk kedirian, untuk memenuhi kebutuhan jiwa, bukan menumpuk konsep-konsep dan teori-teori. 

Santri dayah khususnya atau santri pondok tradisional di Indonesia umumnya tidak ada yang menjadi teroris, ekstrimis, radikalis, dan berpemikiran subfersif. Yang punya pikiran-pikiran seperti itu umumnya adalah berasal dari kelompok modernis. Sebagian kelompok modernis Muslim adalah kaum reaksioner. Mereka belajar agama secara instan, tidak mendalam.
Sistem pendidikan agama yang ideal seperti dipelajari di dayah. Belajar agama tidak semudah kursus menjahit atau kursus mekanik radio yang dapat dikuasai dalam masa beberapa bulan saja. Di dayah, beberapa bulan terkadang hanya bisa menamatkan beberapa halaman saja dari satu kitab. Bandingkan dengan kaum reaksioner yang hanya belajar agama di pesantren kilat dalam beberapa hari saja lalu langsung pakai gamis dan sorban serta segera ke apotik untuk membeli minyak Firdaus supaya jenggot segera tumbuh.
Setelah beberapa lembar janggut tumbung dengan susah payah, langsung turun ke jalan meneriakkan orang lain sesat, kafir, PKI, antek asing,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar