Seorang guru besar di IAIN diakui memiliki penguasaan
terhadap kitab-kitab yang dipelajari santri dayah. Bahkan sang profesor menghafal
narasi dan halaman dari satu kitab kuning. Tetapi bila dia tidak mengikuti
sistematika pendidikan di dayah, maka tetap saja dia belum menempuh sebuah
sistem pendidikan Islam ideal. Karena bila keahliannya hanya menguasai teks,
konsep dalam sebuah literatur, maka para orientalis dapat melalukannya dengan
lebih baik.
Sebab itulah, setiap dilakukan debat antara santri dayah
dengan Muslim modernis, orang dayah sering kalah. Karena mereka diajarkan ilmu
bukan semata untuk pengetahuan, konsepsi dan hafal referensi untuk sitasi,
tetapi mereka belajar untuk amal, untuk kedirian, untuk memenuhi kebutuhan
jiwa, bukan menumpuk konsep-konsep dan teori-teori.
Santri dayah khususnya atau santri pondok
tradisional di Indonesia umumnya tidak ada yang menjadi teroris, ekstrimis,
radikalis, dan berpemikiran subfersif. Yang punya pikiran-pikiran seperti itu
umumnya adalah berasal dari kelompok modernis. Sebagian kelompok modernis
Muslim adalah kaum reaksioner. Mereka belajar agama secara instan, tidak
mendalam.
Sistem pendidikan agama yang ideal seperti dipelajari di
dayah. Belajar agama tidak semudah kursus menjahit atau kursus mekanik radio
yang dapat dikuasai dalam masa beberapa bulan saja. Di dayah, beberapa bulan
terkadang hanya bisa menamatkan beberapa halaman saja dari satu kitab.
Bandingkan dengan kaum reaksioner yang hanya belajar agama di pesantren kilat
dalam beberapa hari saja lalu langsung pakai gamis dan sorban serta segera ke
apotik untuk membeli minyak Firdaus supaya jenggot segera tumbuh.
Setelah beberapa lembar janggut tumbung dengan susah payah,
langsung turun ke jalan meneriakkan orang lain sesat, kafir, PKI, antek asing,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar