Senin, 29 April 2019

Islam dan Rasa Islam, Ulama dan Rasa Ulama

Seharusnya kita tidak perlu panik dengan pernyataan Mahfud. Seharusnya kita buka buku sejarah.

Di Aceh ada PUSA yang setelah belajar melakukan pembantaian lalu mencuri harta benda mereka, lalu menggerakkan pemberontakan DI/TII akibat ngambek. Abu Hasan Krung Kalee dari kelompok tradisional, sudah mengingatkan jangan gabung Indonesia, tapi Beureueh tidak mau, dia penasaran bagaimana rasanya memperoleh kekuasaan. Kalau tidak gabung Indonesia, yang berkuasa tetap uleebalang. Setelah gabung Indonesia, rupanya harus ngambek karena ga dikasih ini dan itu.



Di Sumatera Barat ada Pasukan Padri. Mereka merajuk; jauh-jauh pulang menuntut ilmu di Timur-tengah, hidup kok masih susah. Padahal hasil bumi dan tambang melimpah sekali. Tetapi hanya dinikmati kaum adat.

Kalau kecemburuan sosial yang dikedepankan, tidak akan memperoleh simpati masyarakat. Maka digerakkanlah isu agama dengan mengkampanyekan praktik-praktik ada bertentangan dengan agama. Kalau sudah ada bumbu agama, maka mudah saja membakar emosi massa hingga terjadi perang saudara selama puluhan tahun.

Di Jawa Barat ada Kartosoewirdjo yang menggerakkan pemberontakan DI/TII. Sebenarnya ideologi Kartosoewirdjo sama dengan Natsir. Bedanya Natsir memilih jalur birokrasi dan diplomasi, Kartosoewirdjo menginginkan jalan instan.

Modernis muslim adalah mereka yang tidak puas dengan capaian sistem belajar islam tradisional, mereka cemburu dengan capaian orang yang sekolah, sehingga membuat sintesa belajar agama dan belajar pelajaran sekolah dalam bentuk madrasah. Tetapi ternyata belajar agama tidak bisa dilakukan dengan sistem sekolah. Akhirnya terciptalah manusia yang belajar agama dipermukaan saja. Mereka adalah orang-orang puritan yang menjadi aliran garis keras. Kenapa? Karena belajar agama itu tidak boleh instan. Belajar agama tidak seperti belajar teori lainnya. Kalau belajar kimia, tidak ada laboratorium, bisa belajar teorinya saja. Kalau belajar agama, cuma teori saja, tidak ada siatematisasi yang rigid, mendalam, dimulai dari yang mendasar dan dibarengan dengan pengamalan, maka belajar agama menjadi sesuatu yang berbahaya.

 Islam tidak bisa dipelajari dimanapun kecuali di pondok tradisional atau di dayah minimal  delapan tahun untuk memahami kaidah dasar agama, baik itu pengetahuannya maupun penjiwaannya. Lain dari itu, sebenarnya yang dipelajari bukan agama, tetapi rasa agama.

Agama yang hanya dipelajar melalui konsep-konsep, dengan sepenggal-sepenggal, hanya dalam ruang kelas dengan kurikulum dan silabus yang sama seperti belajar fisika dan matematika, atau melalui pengajian satu atau dua jam melalui setiap minggu, bukanlah belajar agama, tetapi rasa-rasanya belajar agama.

Islam yang dipelajari dayah atau pondok tradisional NU seperti belajar olah raga di lapangan. Konsepsi dan praktik berjalan bersamaan. Pelaksanaannya spesifik, sistematis dan yang lebih penting dipandu oleh mereka yang telah paham. Dengan praktik langsung, pembelajaran yang sistematis, mendalam, maka itulah yang disebut pengetahuan yang sebenarnya, ilmu menjadi jiwa itu sendiri.

Bandingkan dengan belajar di madrasah, persis seperti belajar biologi hanya mempelajari konsepnya saja. Tidak pernah kenal apa itu laboratorium.  Seperti belajar berenang di atas meja.

Di Aceh, pandainya orang madrasah, emde, iain, adalah menggunakan narasi-narasi agama untuk menarik simpati masyarakat. Misalnya mereka mengatakan, "tegakkan syariat islam, pemerintah pusat harus berikan syariat islam". Masyarakat yang sangat cinta syariat islam ikut mendukung mereka. Padahal syariat islam yang dimaksud modernis adalah syariat islam yang terlembagakan, tersistemkan, syariat yang terbingkai dalam prosedur administrasi kelembagaan pemerintah.

Karena imajinasi modernis sejak PUSA adalah hasrat untuk terlibat dalam sistem kelembagaan pemerintah. Setelah syariat islam diformalkan barulah masyarakat Aceh bingung: Talak tiga kok cuma satu, berarti harus sembilan kali talak, baru cina buta? Banyak produk-produk formalisasi syariat Islam lainnya yang membingungkan masyarakat. Kenapa? Karena itu adalah ide modernis, emde, iain, bukan syariat Islam yang menjadi living experience masyarakat Aceh.

Demikian juga ketika disuarakan Prabowo adalah hasil ijtima ulama, maka masyarakat Aceh langsung terkesima. Padahal ulamanya yusuf marta, dahnil simajumtak. Kalau marif amin bukan ulama, kiai sepuh nu bukan ulama, yang ulama yang belajar agama di pesantren kilat 6 hari 5 malam, lalu pake sorban, gamis putuh, pelihara jenggot, teriak allahu akbar di tengah jalan. Itulah ulama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar